Menu

21 April, 2012

JKT48 Novel Fan Fiction Part 2 (Season 1)

Fan fiction ini adalah lanjutan dari JKT48 Novel Part 1. Karya ini diterbitkan atas kerjasama JKT48 Fanblog dengan fanpage JKT48 NOVEL, karya teman kita Chikafusa Chikanatsu
Follow juga JKT48 Novel di twitter

JKT48


  
   ''Namaku... Stella Cornelia. Senang berteman dengan kalian.'' seru Stella seraya memandang siswa siswa di kelas itu, namun tidak ada yang peduli dengan sambutannya. Seperti diacuhkan dengan sangat pahit. Melihat itu, hati rasanya seperti di cabik cabik, dalam hati sungguh kesal. Stella mengharapkan sangat perhatian dari siswa tersebut. Mungkin ini akan menjadi awal yang suram bagi Stella. Di awal pengenalan saja sudah tidak ada yang memperdulikannya, apalagi setelah tiga atau tujuh hari kedepan, bisa bisa Stella tidak akan punya teman dan merasa kesepian. Stella menunduk lesu.

   ''Apa hanya itu saja pengenalan dirimu?'' tanya Guru.
   ''Ya?''

Stella bingung, mengucapkan namanya saja sudah cukup bagi Stella.
Ternyata Guru itu sepertinya mengetahui sangat isi hati Stella yang di acuhkan seperti itu, mungkin Guru sengaja bertanya seperti itu agar suasana tidak menjadi sangat kaku. Dengan adanya percakapan atau membuka suatu topik akan membuat suasana menjadi hidup. Guru berharap Stella mengerti maksudnya itu agar Stella segera membuka suatu topik pembicaraan. Pikiran Stella menjadi sangat kacau, gugup. Tidak tau harus berbicara apa.

   ''Aku...Aku...a...aku bisa menari!'' Teriak Stella tiba tiba.
   ''Ya...aku bisa menari. Itulah keahlian ku. Apakah kalian ingin melihatnya?'' Stella memperjelas.


Semua mata tertuju pada Stellla. Semua antusias menantikan Stella menari.
Rasa gugup Stella hilang, menjadi sangat percaya diri setelah melihat siswa yang antusias menantikannya. Keahliannya dalam menari memang bisa dibilang sangat baik, terutama pada shuffle dance nya. Wanita kelahiran semarang ini memang gemar sekali yang namanya shuffle dance sejak kecil. Keahlian nya memang sudah tidak diragukan lagi. Itulah yang membuat dirinya merasa sangat percaya diri.

   ''Ayo tunjukkan pada kami. Katanya kamu bisa menari.'' seru seorang wanita seolah olah tidak percaya.
   ''Iya benar, coba tunjukan. Apa cuma omong kosong saja?'' tambah seseorang.
   ''Aku jadi gak sabar pengen lihat dia'' bisik Ve pada Melo.

Stella menggangguk. Wajahnya menjadi serius. Perlahan Stella melepaskan kaca matanya dan menaruhnya dimeja guru. Setelah itu, Stella mengambil ponsel didalam sakunya, memutarkan sebuah lagu berirama elektronik. Tidak lama lagu diputar, Stella pun segera memulai gerakan dance nya. Gerakan shuffle yang sangat mahir yang dimainkan Stella membuat murid murid terkesan, tidak percaya apa yang sudah dilihatnya. Bagaimana bisa wanita yang terlihat polos mempunyai bakat yang mustahil bila seseorang melihatnya. Gerakan tumit kaki yang menghentak hentak terus, kedepan, belakang, kanan, kiri. Semua dilakukan dengan sangat mudah.

   ''Wah! Dia hebat sekali. Bagaimana kalau dia aku jadikan pacar. Dia pasti gak akan menolak aku, kan? Dia punya keahlian yang aku sukai. Lagipula aku ini cukup tampan.'' ucap Yuda si pria penggoda.
   ''Dasar bodoh, mana ada wanita yang ingin denganmu. Selama ini memang kamu bercermin dimana? Jangan menggoda wanita polos kayak dia.'' jawab murid wanita yang berada diseberang tempat duduknya.
   ''Benar! Kalau kamu sampai menggodanya akan aku patahkan tulang kakimu itu.'' tambah Ve jengkel.
   ''Oh, Ve ku. Apa kamu cemburu? Tenang saja, aku gak akan berpaling darimu.''

Kalimat Yuda membuat Ve geli. Sikap Yuda yang sok dan juga perayu membuat para wanita tidak nyaman berada di dekatnya. Apalagi rumor dikelas itu Yuda sedang mengincar Ve.

   ''Seharusnya kamu tadi gak usah ikut campur.'' Bisik Melo.
Ve kesal. ''Ih, rasanya aku ingin mematahkan sebagian tulangnya agar dia kapok.''
   ''Wuu. Kamu kejam sekali, aku jadi takut dekat dekat denganmu.'' ledek Melo.
   ''Ish kamu. Malah ikut ikutan bercanda.''
Melo sedikit tertawa.


   Pukul dua belas lewat tiga puluh menit. Dimana semua murid sudah dipulangkan di jam segitu. Melo bersama Ve berjalan menuju kantin sekolah. Niat mereka adalah untuk makan siang karena setelah itu mereka akan menjenguk Dhike. Pilihan yang tepat untuknya berfikir untuk makan siang. Tidak enak rasanya jika mereka numpang makan di kediaman Dhike, apalagi Dhike sedang sakit.
Mereka berdua duduk didekat tidak jauh dari penjual makanan di kantin.

   ''Kamu ingin makan apa, Ve?''
   ''sudah lama aku gak mencicipi nasi uduk buatan kantin ini. Aku pesan itu saja. Oya, minumnya kayak biasa aja ya, teh dingin. Jangan lupa es batunya sebaskom.''
   ''iya. Aku tau. Siapa sih yang gak tau kebiasaan kamu itu yang suka mengunyah es batu.''
Setelah memesan makanan, Melo kembali ke tempat duduk, menanti pesanannya datang. Saat menunggu, Melo jadi teringat saat dirinya melihat kedatangan Takamina di televisi. Dalam hati sungguh bertanya tanya maksud dari kedatangan Takamina. Melo menatap Ve, sapa tau Ve tahu.

   ''ada apa? Kenapa Kamu sering sekali memandangku tanpa sebab? Jangan jangan kamu sedang berfikir tentang sisi keburukan dalam diriku, ya?'' tebak Ve.
   ''Mana mungkin, kamu ini, malah berfikir yang aneh aneh. Atau jangan jangan malah sebaliknya? Kamu kan yang berfikir kaya gitu padaku?'' Balas Melo.
   ''Kok kamu tau?''
Melo terkejut. ''Jadi benar, ya? Tuh kan.''
Ve sedikit tertawa. ''aku bercanda. Ish, kamu polos sekali. Nah, sekarang ceritakan apa yang membuat kamu memandangiku tadi. Pasti ada sesuatu, kan?''
   ''Oh, itu. Aku jadi teringat sama kedatangan Takamina. Apa kamu tau untuk apa dia berkunjung kemari?''
   ''aku juga kurang tau, Mel. Mungkin sedang menghadiri sebuah event.''
   ''huh, Aku jadi penasaran.''

 ***

   Pukul satu siang. Sepulang sekolah Ve dan Melody segera mengunjungi Dhike. Mereka telah tiba di depan apartemen Dhike. Melody masih terpesona pada betapa besarnya gedung apartemen tersebut. Terletak dilantai dua puluh tiga. Langkah Melo terhenti. Memandang sebuah taman yang indah. Penuh dengan bunga bunga, ada kolam renang, lampu taman yang indah, suasana yang bersih dan tenang. Seperti tidak berada di tengah ibu kota yang sibuk melainkan seperti di daerah pegunungan. Melo teringat kenangan bersama Dhike di kolam renang itu. Dimana saat itu mereka sedang berenang bersama, Dhike melatih melo berenang. Melody jadi teringat saat Dhike kedinginan karena terlalu lama melatih Melody di kolam renang. Melody melilitkan handuk ke tubuh Dhike, mereka bercanda, tertawa bersama. Persahabatan mereka bagaikan berlian yang tidak dapat di beli. Melody tersenyum mengingat semua itu. Ve yang berada disebelah Melo keheranan melihat Melo yang tiba tiba tersenyum sambil melamun.

   ''Mel? Mel!'' Teriak Ve sambil memukul mukul bahu Melody.
   ''Ya? Ada apa, sakit tau.''
   ''Habisnya, aku kira kamu kerasukan hantu taman.''
   ''Aku jadi ingat saat aku bersama Dhike bermain di kolam itu.'' kata melo sambil menunjuk kolam.
   ''Melihat kamu tersenyum, sepertinya saat itu sangat menyenangkan, ya? Kapan kapan ajak aku ya.''
Melody menggangguk. Melody dan Ve melanjutkan langkahnya masuk ke dalam apartemen. Mereka telah tiba di depan kamar apartemen Dhike. Saat itu Ayu juga berada disana. Wajah Ayu tampak panik, menggedor gedor pintu kamar apartemen Dhike. Melo dan Ve wajahnya tampak bertanya tanya. Siapa orang itu dan apa yang sedang dilakukannya? Mereka segera menghampiri Ayu.

   ''Ada apa? Kenapa menggedor gedor pintu sampai sekeras itu?'' Tanya Melo.
Ayu menoleh ke arah Melo. Melihat seragam mereka. Mengira ngira Melo dan Ve adalah teman sekelas Dhike. Ayu segera mengambil ponsel dari sakunya. Membuka pesan singkat dari Dhike dan memperlihatkannya pada Melody.
   ''Tadi kak Dhike mengirim ini padaku.'' Cemas Ayu.
Melody segera membaca pesan singkat tersebut. Isinya adalah permintaan Dhike pada Ayu agar segera datang ke kamar apartemennya. Melo shok, wajahnya tampak sangat cemas.
   ''Apa isi pesannya?'' Ve penasaran dan langsung membacanya.
Melody segera mencoba membuka pintu kamar apartemen Dhike. Tidak bisa dibuka. Ve juga mencobanya, namun usaha mereka sia sia. Keamanan pintu yang memakai password membuatnya pasrah. Bahkan, jika ingin membuka pintu pun harus memakai kartu elektrik dari si pemilik. Keamanan yang seperti itu memang sering kita lihat pada apartemen yang elit.

   ''Dhike! Dhike!'' Teriak Melo sambil gedor gedor.
   ''Aku mau panggil security dulu.'' Ucap Ayu.
   ''Oh, baiklah.'' Jawab Ve.
Melody mengambil ponsel di sakunya. Menelepon Dhike. Percuma, tidak ada yang menjawab panggilannya. Sepuluh menit kemudian. Ayu beserta security telah tiba.
   ''Sebenarnya ada apa?'' Tanya Security.
   ''Temanku ada di dalam kamar ini. Dia lagi sakit. Aku takut terjadi apa apa padanya.'' Jawab Melody cemas.
   ''Kalau begitu tunggu sebentar.''

Security itu menyalakan layar LCD yang tertempel di sebelah pintu kamar apartemen. Layar LCD biasa dipakai untuk video call antara tamu dengan pemilik apartemen. Bagaimanapun juga security tidak boleh asal menggunakan kartu elektrik darurat. Security harus mempunyai alasan untuk bisa membuka kamar apartemen. Sudah berkali kali security itu memanggil lewat video call namun tidak ada balasan. Mau tidak mau security membuka kamar dengan kartu elektrik darurat. Pintu pun terbuka. Melo, Ve, Ayu serta security segera masuk ke dalam.

Kamarnya tampak berantakan. Bungkusan mie instan berserakan di meja. Botol botol minuman kosong berada dilantai. Air keran menyala terus. Tubuh Melody menjadi lemah. Tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Setau Melo, Dhike adalah orang yang ceria, rajin dan sangat menyukai kebersihan. Langkah Melo terhenti, tidak sanggup meneruskannya. Entah apa yang akan terjadi didepannya. Ayu membuka pintu kamar Dhike. Wajahnya tampak sangat panik setelah melihat Dhike tergeletak dilantai. Ayu serta security berlari menghampiri Dhike.

   ''Kakak!'' Teriak Ayu.
Dhike tidak sadarkan diri. Tubuhnya sangat panas, penuh keringat. Wajahnya juga pucat. Security segera mengangkatnya ke atas tempat tidur. Ve segera mencari handuk di lemari kamar Dhike untuk mengompresnya. Ve berjalan keluar kamar, tidak sengaja melihat Melody yang terdiam kaku. Mata melo tampak berkaca kaca.
   ''Kamu kenapa?'' Tanya Ve.
   ''Sebenarnya apa yang sudah terjadi dengan Dhike. Enggak mungkin.'' Protes Melody.
Tiba tiba Ayu muncul dari kamar. ''Kak Dhike sudah sadar.'' seru nya.
Melody langsung berlari menemui Dhike yang terbaring di tempat tidur. Tatapan Melo yang cemas dan bertanya tanya tertuju pada Dhike.
   ''Melo...'' Senyum Dhike. Dhike memang pintar sekali membuat orang agar tidak khawatir dengannya. Walau tubuhnya sakit dia masih bisa tetap tersenyum.
   ''Baiklah, aku permisi dulu. Jika ada apa apa panggil saja saya.'' kata Security.
   ''Iya, makasih, pak.'' Jawab Ayu.
Melody memegang tangan Dhike dengan lembut.
   ''Dasar, untuk apa tersenyum kayak gitu. Kamu berbakat sekali membuat orang jantungan.'' gurau Melo dengan wajah cemasnya itu.
   ''Maaf kalau aku sudah membuat kalian khawatir.''
   ''Kamu pasti belum makan.'' Melody mengambil rantang kecil berisi bubur kacang dari dalam tasnya.
   ''Aku mau menghangatkan ini dulu.'' Kata Melody.
   ''Biar aku saja.'' Potong Ayu.
   ''Oh, baiklah.'' Melody pun segera memberi rantang tersebut pada Ayu.
   ''Oya, kita belum kenal. Aku Melody. Namamu siapa?'' Tanya Melo pada Ayu.
   ''Aku Nabilah Ratna Ayu. Panggil saja Ayu.'' Ayu tersenyum.
   ''Namamu secantik dirimu.'' puji Melo. Ayu tersenyum grogi mendapat pujian seperti itu.
Ve datang sambil membawa kompresan. ''Apa kabar Ikey ku... Kamu tambah cantik saja.'' Gurau Ve.
   ''Kamu ingin mengejekku? Apa wajah pucat membuat tampak lebih cantik?'' Balas Dhike.
Melody yang mendengar celoteh mereka menjadi tertawa. ''sudah sudah...kalian ini. Suasana begini masih bisa bercanda.''

Ve segera mengompres Dhike dengan handuk dingin. Tiba tiba saja Melody mengingat apa yang dilihat sebelumnya. Bungkusan mie instan dimana mana. Ia jadi merasa kasihan, gimana mau berenergi jika terus memakan mie instan. Ditambah lagi Dhike hidup sendirian. Sungguh, dalam hati rasanya ingin menangis karenanya.
Melody beranjak dari kasur Dhike.
   ''Kamu mau kemana?'' Tanya Ve.
   ''Sebentar saja...''
Melody berjalan ke ruang tamu. Melihat betapa berantakannya suasana kelilingnya. Melody menghela nafas. Diambilnya satu persatu bungkusan bungkusan yang berserakan itu, lalu membuang sampah sampah yang sudah tidak terpakai ke tempat semestinya.
Ayu muncul dari ruang dapur. Sekilas melihat Melody yang sedang bersih bersih. ''Kak, buburnya sudah hangat.'' Seru Ayu pada Melody.
   ''Oh, kasih saja pada Dhike.''

Ayu menggangguk dan segera menuju kamar Dhike. Setelah itu, ayu kembali ke tempat Melody yang sedang bersih bersih. Tanpa perintah apapun Ayu langsung membantu Melody. Melihat sikap Ayu yang peduli, Melody merasa gembira karena Dhike mempunyai teman seperti Ayu.
   ''Apa kakak teman sekelas kak Dhike?''
   ''Iya. Aku, ve dan Dhike sekelas. Kami sangat akrab. Oya, kamu tinggal dimana?''
   ''Aku tinggal di apartemen ini. Tepatnya di lantai delapan belas.''
   ''Begitu, tapi kok aku jarang sekali melihatmu.''
   ''Aku biasa bertemu kak Dhike pada malam hari.''
   ''Kelihatanya, kamu sangat peduli padanya.''
Ucapan Melody yang terakhir itu membuat Ayu sempat terdiam. Terutama pada kata 'peduli'. Ayu menjadi mengingat masa lalunya yang penuh kesedihan.
   ''Sejak saat itu, aku sudah mengganggap dia seperti kakak ku sendiri, kak''
Melody binggung, sejak saat itu apa yang dimaksud kalimatnya. Banyak pertanyaan yang ingin dilontarkan Melody. Tetapi, mereka baru saja berteman. Mengetahui kehidupan pribadinya masih terlalu dini. Terpaksa, disimpannya saja pertanyaan pertanyaan yang membuatnya penasaran.
   ''Aku harap, kita bisa menjadi teman dekat.'' kata Melody.
Ayu menggangguk senang.

 ***

   Pada suatu senin malam. Ronald sudah mangkal didepan rumah Melody. Tidak lama kemudian, Melody datang dengan tubuh yang lesu. Terlihat tidak bersemangat. Berjalan sambil menundukan kepalanya. Saat itu Melody baru saja pulang dari apartemen Dhike setelah mengurus temannya itu. Wajar jika Melody kelihatan sangat lelah.
   ''Apa kabar?''
Melody kaget. ''Ronald!''
Ronald tersenyum.
Ronald Melihat penampilan Melody dari atas sampai bawah. Melody masih terlihat mengenakan pakaian seragam sekolah.
   ''Kamu itu seorang pelajar. Gak baik pulang tengah malam begini. Kamu nanti bakalan kena gosip tetangga.'' Simpul Ronald.
Melody sedikit tertawa. ''Aku habis mengunjungi temanku. Lagipula, aku sudah minta ijin dari ayah dan ibu.''

Mereka berdua terlihat akrab. Saat SMP, ronald adalah teman sekelasnya. Tapi, dikarenakan biaya, Ronald tidak bisa melanjutkan pendidikannya itu. Walaupun demikian, Ronald adalah pria yang pintar. Sampai sampai saat SMP dulu Melody selalu bertanya padanya jika ada soal yang tidak mengertinya. Tempat tinggalnya juga tidak jauh dari rumah Melody. Hanya terhalangi dinding tebal antara rumah komplek dan kampung.

   ''Ngomong ngomong ada apa kamu kemari? Eh, lebih baik kita bicara di dalam saja.''
   ''Ah, gak usah. Sudah malam. Gak enak dengan keluargamu nanti. Hmm...aku kemari hanya ingin melihatmu.'' ucap Ronald malu malu.
Melody bingung. ''Melihatku? Untuk apa?''
Ronald menjadi grogi. ''Aku hanya ingin tahu apakah kamu sehat, sakit...''
   ''Memangnya kalau sakit kenapa?'' potong Melody heran.
   ''Aku akan mengobatimu.''
Melody semakin tidak mengerti maksud kata katanya. Apakah dia sedang bergurau atau mungkin sungguhan. Suasana saat itu menjadi sangat kaku. Sikap pemalu dan pendiam ronald lah penyebabnya. Saat didepan Melody, pikiranya menjadi buyar, tidak tahu harus membuka topik pembicaraan yang seperti apa. padahal yang Ronald inginkan saat itu hanya Ingin lebih akrab saja dengannya.
   ''Kamu berlebihan sekali. Aku masuk dulu, ya.'' Kata Melo.

Bagaimanapun saat itu sudah malam, Melody terpaksa meninggalkan Ronald walaupun tidak enak. Takut takut jika ada tetangganya ada yang melihat nanti akan salah paham.

Ronald hanya bisa menggangguk, mau bagaimana lagi. Ronald lah yang sudah salah mengambil suasana untuk bertemu dengan Melody. Melody membuka pagar rumahnya dan masuk.

   ''Aku pasti sudah gila, kenapa aku kayak gini. Pasti melo berfikir yang enggak enggak tentang diriku.'' Sesal Ronald.

Dulu saat SMP Melo sering sekali membelikan buku pelajaran pada Ronald. Saat itu Melo tidak tega melihat kehidupan Ronald yang serba kekurangan. Sering sekali Ronald di tegur oleh guru karena sering nunggak uang bayaran, buku LKS tidak punya, bahkan buku tulisnya saja masih menggunakan buku buku bekas.


Didalam rumah Melo sudah disambut oleh adiknya, Frieska, yang sedang menonton tv saat itu.

   ''Kakak!'' teriak Frieska senang.
   ''Tengah malam begini masih bisa teriak. Kenapa belum tidur?''

Frieska mendekati Melody dan menggeledah tasnya. Mungkin inilah yang membuat Frieska senang, menantikan makanan cemilan yang dibawa Melody. Tapi sayang, Melody saat itu tidak membawa apa apa untuk diberikan pada adiknya. Frieska menjadi cemberut.

   ''Maaf, hari ini kakak gak bawa apa apa.''
   ''Sudah seharian gak pulang malah gak bawa apa apa.'' gerutu Frieska.
Melody menjadi serba salah. Betapa senangnya saat Frieska menyambut tadi dengan wajah sesenang dan ceria itu. Pasti harapannya pun sangat tinggi. Tapi Melody hanya membuatnya merasa kecewa.

   ''Apa kamu lapar? Kakak mau buatkan nasi goreng untukmu.''
Kebetulan, Saat itu Frieska memang sedang kelaparan. Pas sekali melo menawarkan tawaran seperti itu. Tentu Frieska sangat senang. Tetapi tetap saja rasanya tidak berperasaan jika diamati. Melo terlihat begitu lelah setelah mengurusi temanya itu. Setelah itu disambut dengan Frieska yang sedang meminta jatah. Mungkin yang ada dipikiran Frieska saat itu adalah Melo menikmati hari hari remajanya bersama dengan teman temannya dan tidak mengetahui apa yang sebenarnya Melo lakukan saat itu.

Melody menaruh tas sekolahnya di sofa.

   ''Apa ayah dan ibu sudah tidur?''
   ''Sudah.''

Tanpa berganti baju Melody langsung berjalan ke dapur untuk membuat nasi goreng. Tubuhnya sangat lemah, tidak ada tenaga. Dari pagi hingga malam masih terus beraktivitas tanpa istirahat. Tidak sengaja wajahnya tergambar di cermin dapur. Wajahnya sedikit pucat dan rambutnya berantakan. Melihat itu, Melody segera merapihkan rambutnya.

Lima belas menit kemudian, dua piring nasi goreng telah siap untuk di santap. Melody menuju ruang santai, ternyata Frieska terlihat sedang tidur di sofa dan televisi masih menyala. Entah ketiduran atau disengaja. Melody menghela nafas, merasa sedikit kecewa. Seperti tidak menghargai perbuatan kakaknya itu. Melody mematikan televisi. Setelah itu meletakkan sepiring nasi goreng milik Frieska dimeja. Tidak peduli mau dimakan atau tidak. Melody bersandar di sofa sambil menyantap makanan miliknya secara perlahan. Benturan antara sendok dengan piring menciptakan sebuah suara yang akhirnya membuat Frieska terbangun. Frieska melihat sepiring nasi goreng yang sedang mengganggur di meja.

   ''Oh, sudah jadi, ya.''
Frieska menatap kakaknya. Melody membuang wajahnya dan terus makan. Tidak biasanya kakaknya itu bersikap jutek padanya. Frieska pun akhirnya menyadari kesalahannya itu. Frieska memang tidak sengaja tertidur saat itu. Dipandanginya tubuh kakaknya itu.

Dalam hati berkata. ''Penampilanya begitu berantakan, sudah terlihat jelas tubuhnya kelelahan tapi aku masih bisa mengeluh padanya. Maaf...''

Frieska menghampiri Melody yang sedang makan. Tiba tiba Frieska memeluknya dengan erat. Mungkin dengan begitu ngambeknya akan berkurang padanya.

   ''Kakakku ini tenyata ambekan sekali, ya.'' ejek Frieska.
   ''Kamu ini kenapa? Siapa yang ngambek?'' ngeles Melo.
   ''Ah, ngaku saja. Iya, kan? Aku benar, kan? Sudah terlihat jelas gini masih gak mau ngaku.'' tawa Frieska.
   ''Dasar, sudah makan dulu sana dan langsung tidur. Jangan sampai kesiangan lagi besok.''
Frieska menggangguk. ''Iya kakakku.''

BERSAMBUNG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Fans yang baik akan selalu berkomentar dengan baik :)
Kalau gak punya akun Gmail, pilih aja Name/url, terus isi dengan nama dan alamat facebook/twitter kalian...
Silakan berkomentar :)